Polemik seputar status hukum sebanyak 61 kepala daerah yang mayoritas terjerat kasus dugaan korupsi beberapa waktu lalu hingga saat ini masih tersendat. Apa boleh buat, mayoritas dari jumlah itu diduga adalah kader Partai Demokrat, sehingga mendapat ‘perlakuan khusus’ dari partai penguasa.
APALAGI, sang koruptor yang sebelumnya bukan kader Demokrat, kini ramai-ramai berpindah haluan ke Demokrat. Tujuannya bisa ditebak, suaka politik adalah yang utama. Muncul pertanyaan, apakah fenomena ini masih bisa menjamin Partai Demokrat sebagai partai yang betul-betul ingin memberantas korupsi? “Jadi, 61 orang belum turun izin dari presiden sejak 2005 sampai sekarang 2011. Itu untuk pemeriksaan sebagai saksi dan tersangka, termasuk Gubernur Kalimantan Timur, Awang Farouk. Ini yang belum tahu alasannya.
APALAGI, sang koruptor yang sebelumnya bukan kader Demokrat, kini ramai-ramai berpindah haluan ke Demokrat. Tujuannya bisa ditebak, suaka politik adalah yang utama. Muncul pertanyaan, apakah fenomena ini masih bisa menjamin Partai Demokrat sebagai partai yang betul-betul ingin memberantas korupsi? “Jadi, 61 orang belum turun izin dari presiden sejak 2005 sampai sekarang 2011. Itu untuk pemeriksaan sebagai saksi dan tersangka, termasuk Gubernur Kalimantan Timur, Awang Farouk. Ini yang belum tahu alasannya.
Yang jelas saya yakin kalau presiden, itu di meja, itu tinggal tanda tangan. Kalau presiden itu kalau sudah tiga hari pasti tanda tangan,” ungkap Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung, Noor Rachmad di Jakarta, Kamis (7/4/2011) lalu.
Anggota Komisi III DPR Aziz Syamsudin tidak menampik mandegnya izin dari presiden, itu bisa jadi berkaitan dengan maraknya aksi “loncat pagar” sejumlah politisi ke partai lain. “Itu bisa jadi, karena sekarang kan lagi banyak politisi yang pindah partai. Mereka bisa saja pura-pura pindah partai agar kasusnya bisa dilindungi oleh partai tujuannya,” ungkap Aziz kepada Monitor Indonesia, beberapa waktu lalu.
Seperti diketahui, politik Indonesia diramaikan tren hijrah ke partai lain oleh sejumlah elit partai. Jika ditotal, Partai Demokrat adalah partai yang paling laris dijadikan sebagai partai tujuan. Terakhir, kader Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf kini sudah berlabuh di Partai Demokrat. Sebelumnya, kader Partai Bulan Bintang (PBB) yang juga menjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi sudah lebih dulu melakukan akrobat politik serupa, yakni hijrah partai ke Demokrat.
Sebenarnya, Indonesia Coruption Watch (ICW) sudah berkali-kali menuding Partai Demokrat sebagai sarang persembunyian para koruptor. Dalam penelitiannya, ICW setidaknya menemukan tujuh kepala daerah yang terlibat kasus korupsi. Bahkan, kader junior itu semakin merasa nyaman, sebab hukum seolah-olah tidak mampu menjamah mereka.
Kesan tebang pilih yang terbersit di benak publik tentu saja tidak terelakkan. Merujuk pada kader partai lain, ICW lantas membandingkan kasus yang menimpa kader PKS Misbakhun dan kader Golkar Syamsul Arifin Gubernur Sumatera Utara. Kedua politisi ini akhirnya harus meringkuk di sel penjara.
Penelitian terbaru ICW bahkan menegaskan 76 persen dari pernyataan SBY yang mendukung pemberantasan korupsi nyatanya tidak terealisasi. Padahal, berdasarkan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden.
Namun, justru di sinilah letak persoalannya. Kekuasaan memberi izin yang digenggam SBY diduga menjadi sumber presiden melakukan tindakan diskriminatif. “Perlindungan hukum menjadi utama pindahnya kepala daerah ke Partai Demokrat. Dengan tingginya tingkat korupsi di Pilkada, suaka politik dengan cara masuk ke lingkaran kekuasaan menjadi hal penting. Apalagi, politik pemberantasan korupsi kita saat ini masih tebang pilih,” ungkap pengamat politik Yunarto Wijaya beberapa waktu lalu.
Senjata Makan Tuan
Mari kembali sejenak pada masa kampanye Pemilu 2009 lalu. Kala itu, Partai Demokrat merayu rakyat Indonesia lewat semboyan pemberantasan korupsi yang tanpa pandang bulu. Harus diakui, rayuan yang disebarluaskan melalui media massa itu memang cukup menarik perhatian. Ini karena SBY, Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng, dan Angelina Sondakh turut serta membintangi iklan kampanye itu.
‘GELENGKAN kepala dan katakan Tidak, Abaikan rayuannya dan katakan Tidak, Tutup telinga dan katakan Tidak’, adalah senjata yang dipakai Demokrat untuk membuktikan betapa konsistennya partai itu memberantas korupsi. Bahkan pada penghujung iklan itu, ‘Partai Demokrat bersama SBY terus melawan korupsi tanpa pandang bulu’, menjadi kalimat penutup yang terasa indah di telinga.
Entah karena iklan itu memang sangat bermutu dan menjanjikan, Partai Demokrat dan SBY akhirnya berhasil merebut kekuasaan untuk kedua kalinya. Lebih bombastis lagi, SBY tak lagi perlu bertarung dua kali putaran pemilu, seperti Pemilu 2004. Sekali putaran saja, Yudhoyono kembali melenggang ke Istana.
Namun, semboyan “Katakan Tidak Pada Korupsi” kini menjadi bumerang bagi Partai Demokrat dan SBY sendiri. Apa lacur, sederet kader partai berlambang mercy itu justru terseret dalam derasnya pusaran korupsi. Sayangnya, meski SBY berkali-kali mengatakan tidak akan pernah pandang bulu memberantas korupsi, sepertinya pernyataan itu tidak berlaku pada kader sendiri. Tak heran, kini banyak kalangan menuding Partai Demokrat sebagai sarangnya para koruptor.
Tudingan ini bukan tanpa alasan, sebab hingga kini sejumlah nama kader Demokrat yang tersangkut masalah korupsi masih bebas berkeliaran. Kalaupun diproses, statusnya masih sebatas saksi.
Johnny Allen Marbun adalah politisi Demokrat yang hingga saat ini masih menjadi saksi dalam kasus dugaan korupsi pembangunan dermaga dan bandara di kawasan Indonesia Timur. Anggota DPR asal Sumut ini rupanya masih belum bisa dijamah oleh lembaga superbody KPK.
Berikutnya, Max Sopacua yang juga masih berstatus sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Departemen Kesehatan. Mantan penyiar televisi ini juga masih bebas melenggang sebagai anggota DPR.
Kemudian Andi Nurpati. Wanita yang sebelumnya adalah anggota KPU ini juga terseret dalam kasus pemalsuan surat MK yang kasusnya tidak lagi dilanjutkan. Bahkan, saat ini dia dipercaya sebagai salah satu Ketua DPP Partai Demokrat.
Sedangkan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamuddin juga terlilit dugaan korupsi dana bagi hasil pajak senilai Rp21,3 miliar. Namun, Agusrin yang juga menjabat Ketua DPR Bengkulu ini akhirnya divonis bebas beberapa hari lalu.
Berikutnya adalah mantan Wakil Gubernur Sumut yang kini menjadi anggota DPR Amrun Daulay juga diseret dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sapi impor dan mesin jahit Departemen Sosial. Meski status Amrun sudah tersangka, dia masih bebas tak tersentuh KPK.
Tak ketinggalan, mantan Walikota Semarang Sukawi Sutarip juga pernah ditetapkan sebagai tersangka korupsi APBD 2004 senilai Rp 3,9 miliar. Namun, lagi-lagi kasus itu mengendap entah dimana.
Sedangkan Djufri, mantan Walikota Bukittinggi, yang kini menjabat anggota DPR asal Demokrat juga dilibas dugaan korupsi pengadaan tanah kantor DPRD Bukittinggi dan pool kendaraan Sub Dinas Kebersihan dan Pertamanan Bukittinggi 2007 yang merugikan keuangan negara sekitar Rp1,2 miliar.
Kendati Djufri telah ditetapkan sebagai tersangka pada 9 Januari 2009 lalu, hingga kini ia masih bebas mondar-mandir di gedung Senayan. Sedangkan kasusnya kini ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.
Terakhir dan yang paling membuat Demokrat ketar-ketir adalah kasus yang melilit Nazaruddin. Mantan Bendahara Umum Demokrat ini diseret dalam kasus korupsi Wisma Atlet Palembang, dan percobaan memberikan gratifikasi kepada Mahkamah Konstitusi. Meski dicoret dari kepengurusan organisasi, nyatanya status Nazaruddin sebagai anggota DPR tidak dicopot.
[Sumber: Kabarnet]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar