Minggu, 18 September 2011

Ziarah Ke Makam Tuhan

Hai...kemarin iseng ke kampus mengunjungi seorang teman yang sedang mengikuti pendidikan pelatihan advokat. Sejujurnya beliau orang yang aneh, penyuka sastra yang dengan senang hati menceburkan dan meleburkan diri dalam dunia AKADEMISI hukum dan PRAKTISI hukum sekaligus! Aneh.Kemarin kita sempat bercerita panjang di sela rehatnya. Kemudia dia merekomendasikan judul buku. BERKUNJUNG KE MAKAM TUHAN. Judul yang asing. Tapi dia merekomendasikan dengan penuh semangat. Jadi saya pun mendownload dengan perasaan malas. Dari judulnya saja sudah bisa kutebak, semacam fiksi filsafat. Tapi untuk menghargai seorang teman, saya akhirnya mendowload. Ini mungkin semacam novel indi, diterbitkan tanpa dibedah editor handal. Meskipun  Idenya bagus, tapi penulisannya acak-acakan. Kurang rapi. Tentang ide, sama seperti fiksi filsafat lainnya. Mainanya masih melekatkan sifat manusia ke Tuhan. Tapi ini lebih ringan. Semacam komedi satir berbau filsafat. Pada akhirnya saya tak melabeli Bagus tapi tak juga berani berkata Buruk. Semua ada pada tatananya masing-masing. Silahkan didownload. Kombinasi katanya lumayan menarik. HAPPY DOWNLOAD AND READING!!! :)

Membedah Korupsi ‘Berjamaah’ di Partai Demokrat

Perhatikanlah foto ini, tidakkah mereka patut dikasihani?
Kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Dempkrat M. Nazarudin telah membuat parpol penyokong utama pemerintahan SBY semakin kelihatan watak aslinya yang tidak steril dengan prilaku buruk yang dipraktikkan sebagian kadernya baik di pusat hingga daerah. Partai Demokrat yang selama ini menjadikan isu pemberantasan korupsi sebagai ‘jualan’ utamanya ternyata kini hanya menjadi ‘bualan’ semata karena praktik di lapangan justru menunjukkan kontradiksi aksi dan fakta yang sesungguhnya.
Tsunami dugaan korupsi yang kini melanda Partai Demokrat membuktikan bahwa parpol ini tidak konsisten dalam berprilaku dan hanya menjadikan isu pemberantasan korupsi sebagai alat propaganda politik demi membangun pencitraan dihadapan publik. Kini mata publik telah dibuka bahwa komitmen pemberantasan korupsi yang dijadikan slogan suci SBY dan Partai Demokrat tak lebih sebagai cerita fiksi yang penuh sensasi dan manipulasi.
Kasus yang menimpa M.Nazarudin dan kini melebar mulai menyeret sejumlah eli Partai Demokrat menjadi bukti nyata betapa pembohongan publik adalah fakta dan nyata dilakukan oleh pemerintahan SBY yang selama ini ‘mentasbihkan’ pemberantasan korupsi. Agenda suci pemberantasan korupsi dalam dataran praktiknya ternyata penuh kontradiksi, ironi,manipulasi, diskriminasi dan politisasi sehingga tidak menyentuh aspek yang sesungguhnya terkecuali hanya membuat hiruk pikuk dipermukaan tetapi substansinya selalu kabur dan penuh dengan permainan (rekayasa) dan sering berjalan transaksional.
Realitas itulah yang kini semakin merontokkan citra dan kepercayaan Presiden SBY dan Partai Demokrat. Dari berbagai hasil temuan lembaga Lembag Survei tingkat popularitas dan kepercayaan publik terhadap SBY dan partai pendukung utamanya menunjukkan tren yang terus menurun (anjlok) secara memprihatinkan. Semua ini terjadi karena ageda korupsi yang selama ini menjadi senjata pamungkas dan pusaka utama pemerintahan SBY dan Partai Demokrat kini mulai makan ‘tuannya’ sendiri.
Ditengah realitas yang sunguh sangat kontradiktif dan ironis itu, publik kini ternyata mulai menyimpulkan adanya petunjuk terjadinya korupsi ‘berjamaah’ di Partai Demokrat. Petunjuk korupsi berjamah di Partai Demokrat ini tentu didasarkan pada dugaan keterlibatan para elit politiknya serta tidak konsistennya pemimpin tertinggi di negeri ini dalam memberantas korupsi. Indikasi korupsi berjamaah itu setidaknya bisa dilihat dari dugaan para elit Partai Demokrat dalam kasus-kasus korupsi sebagai berikut;
1. Anas Urbaningrum (Ketua Umum DPP Partai Demokrat) yang telah disebut M. Nazarudin menerima dana sekitar 2 Milyar dari Proyek Pembangunan Wisma Atlet Sea Games.
2. Andi A. Malarangeng (Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat dan Menpora) yang disebut M.Nazarudin menerima dana sekitar 4 Milyar dari Proyek Wisma Atlet Sea Game.
3. Jhony Alle Marbun (WakilKetua Umum DPP Partai Demokrat) yang telah lama ramai dikaitkan dengan dugaan korupsi pembangunan Dermaga dan Bandara di Indonesia Timur dan hingga kini kasusnya mengendap di KPK.
4. Max Spacua (WakilKetua Umum DPP Partai Demokrat) yang diduga terkait dengan kasus korupsi Alat Kesehatan di Departemen Kesehatan tahun 2007.
5. Angelina Sondakh (Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat) yang diduga berperan aktif sebagai koordinator Anggaran di Komisi X serta diduga menjadi salah satu aktor terjadinya kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet Sea Games.
6. M. Nazarudin (Mantan Bendahra Umum DPP Partai Demokrat) yang kini sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan diduga menjadi aktor utama terjadinya kasus dugaan korupsi pembangunan Wisma Atlet Sea Games dan kasus Suap Sesmenpora.
7. Andi Nurpati (Ketua DPP partai Demokrat) diduga kuat menjadi salah satu aktor Pemalsuan Surat MK yang syarat dengan isu suap atau korupsi.
Berdasarkan keterkaitan nama-nama itu dalam dugaan kasus-kasus itu maka hampir seluruh elit Partai Demokrat yang menempati posisi-posisi paling strategis adalah tidak steril dengan tuduhan keterlibatan korupsi. Tampaknya untuk sementara hanya Sekjen DPP Partai Demokrat; Edhi Baskoro Yudhoyono (Ibas) yang sama sekali tidak pernah disebut dan terkait atau dikaitkan dengan isu korupsi yang kini banyak heboh dan dituduhkan para elit separtainya.
Merujuk dengan berbagai pemberitaan, tudingan dan petunjuk di atas maka dapat disimpulkan bahwa sedang terjadi dugaan korupsi ‘berjamaah’ di Partai Demokrat karena menyasar dan mengaitkan sejumlah elit politiknya yang menempati pos-pos paling strategis. Petunjuk korupsi berjamaah ini tentu akan semakin berat mengangkat kembali citra dan prestasi Partai Demokrat di masa depan jika tidak terjadi loncatan luar biasa dan ledakan besar (Big Bang) dari SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat untuk bertindak tegas menggunakan tangan besi ‘membersihkan’ praktik korupsi di partainya yang telah mencoreng muka dan citra dirinya.
Hal ini bisa ditempuh ketika SBY berani mengambil resiko untuk mengorban siapapun yang terlibat kasus dugaan korupsi, termasuk jika ada anggota keluarganya yang akhirnya terlibat. Bukankankah SBY pernah berikrar dihadapan ratusan juta rakyatnya bahwa dirinya akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi dan dimulai dari Istananya. Ikrar ini hingga kini belum terbukti dan ditepati sehingga dalam sisa 3 tahun pemerintahan, SBY masih memiliki hutang sangat besar dengan rakyatnya.
Petunjuk dan indikasi terjadinya korupsi berjamaah ini mestinya yang membuat SBY segera bangkit mewujudkan janji-janjinya sehingga di akhir pemerintahannya dapat mewariskan sejarah, prestasi serta legacy sebagai ‘Bapak’ Pemberantas korupsi, bukannya Bapak ‘Pelindung’ Koruptor. Jika SBY bersikap seperti ini niscaya KPK menjadi sangat ringan dan mudah membedah korupsi berjamaah di Partai Demokrat. Upaya membedah dan menuntaskan dugaan korupsi berjemaaah itu sangat memerlukan dukungan penuh SBY sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan dan di Partai Demokrat.
Semua itu kuncinya tentu terletak pada ketegasan sikap dan kemauan SBY sebagai Presiden dan sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat untuk membedah dan membongkar tuntas indikasi korupsi berjamaah di partai yang pernah didirikan, dibangun dan dibanggakannya. Tanpa ketegasan ini nisacaya pemberatanasan korupsi hanya berputar-pura, mengedepankan sensasi dan penuh basa-basi sehingga tidak pernah menyentuh substansi, terkecuali hanya terus menerus menyakiti dan mengecewakan mayoritas rakyat.

Dari: Aly Imron Dj
Penggiat LSM untuk Transparansi dan Demokrasi, Penulis Buku dan Penulis Lepas di Berbagai media massa. -Sampaikan kebenaran walaupun terasa pahit. Lihatlah apa yang ditulis, jangan lihat penulisnya. Email: alyimrondj@yahoo.com, HP. 085866940999

Sarang Penyamun?

Polemik seputar status hukum sebanyak 61 kepala daerah yang mayoritas terjerat kasus dugaan korupsi beberapa waktu lalu hingga saat ini masih tersendat. Apa boleh buat, mayoritas dari jumlah itu diduga adalah kader Partai Demokrat, sehingga mendapat ‘perlakuan khusus’ dari partai penguasa.

APALAGI, sang koruptor yang sebelumnya bukan kader Demokrat, kini ramai-ramai berpindah haluan ke Demokrat. Tujuannya bisa ditebak, suaka politik adalah yang utama. Muncul pertanyaan, apakah fenomena ini masih bisa menjamin Partai Demokrat sebagai partai yang betul-betul ingin memberantas korupsi? “Jadi, 61 orang belum turun izin dari presiden sejak 2005 sampai sekarang 2011. Itu untuk pemeriksaan sebagai saksi dan tersangka, termasuk Gubernur Kalimantan Timur, Awang Farouk. Ini yang belum tahu alasannya.
Yang jelas saya yakin kalau presiden, itu di meja, itu tinggal tanda tangan. Kalau presiden itu kalau sudah tiga hari pasti tanda tangan,” ungkap Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung, Noor Rachmad di Jakarta, Kamis (7/4/2011) lalu.
Anggota Komisi III DPR Aziz Syamsudin tidak menampik mandegnya izin dari presiden, itu bisa jadi berkaitan dengan maraknya aksi “loncat pagar” sejumlah politisi ke partai lain. “Itu bisa jadi, karena sekarang kan lagi banyak politisi yang pindah partai. Mereka bisa saja pura-pura pindah partai agar kasusnya bisa dilindungi oleh partai tujuannya,” ungkap Aziz kepada Monitor Indonesia, beberapa waktu lalu.
Seperti diketahui, politik Indonesia diramaikan tren hijrah ke partai lain oleh sejumlah elit partai. Jika ditotal, Partai Demokrat adalah partai yang paling laris dijadikan sebagai partai tujuan. Terakhir, kader Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf kini sudah berlabuh di Partai Demokrat. Sebelumnya, kader Partai Bulan Bintang (PBB) yang juga menjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi sudah lebih dulu melakukan akrobat politik serupa, yakni hijrah partai ke Demokrat.
Sebenarnya, Indonesia Coruption Watch (ICW) sudah berkali-kali menuding Partai Demokrat sebagai sarang persembunyian para koruptor. Dalam penelitiannya, ICW setidaknya menemukan tujuh kepala daerah yang terlibat kasus korupsi. Bahkan, kader junior itu semakin merasa nyaman, sebab hukum seolah-olah tidak mampu menjamah mereka.
Kesan tebang pilih yang terbersit di benak publik tentu saja tidak terelakkan. Merujuk pada kader partai lain, ICW lantas membandingkan kasus yang menimpa kader PKS Misbakhun dan kader Golkar Syamsul Arifin Gubernur Sumatera Utara. Kedua politisi ini akhirnya harus meringkuk di sel penjara.
Penelitian terbaru ICW bahkan menegaskan 76 persen dari pernyataan SBY yang mendukung pemberantasan korupsi nyatanya tidak terealisasi. Padahal, berdasarkan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden.
Namun, justru di sinilah letak persoalannya. Kekuasaan memberi izin yang digenggam SBY diduga menjadi sumber presiden melakukan tindakan diskriminatif. “Perlindungan hukum menjadi utama pindahnya kepala daerah ke Partai Demokrat. Dengan tingginya tingkat korupsi di Pilkada, suaka politik dengan cara masuk ke lingkaran kekuasaan menjadi hal penting. Apalagi, politik pemberantasan korupsi kita saat ini masih tebang pilih,” ungkap pengamat politik Yunarto Wijaya beberapa waktu lalu.
Senjata Makan Tuan
Mari kembali sejenak pada masa kampanye Pemilu 2009 lalu. Kala itu, Partai Demokrat merayu rakyat Indonesia lewat semboyan pemberantasan korupsi yang tanpa pandang bulu. Harus diakui, rayuan yang disebarluaskan melalui media massa itu memang cukup menarik perhatian. Ini karena SBY, Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng, dan Angelina Sondakh turut serta membintangi iklan kampanye itu.
‘GELENGKAN kepala dan katakan Tidak, Abaikan rayuannya dan katakan Tidak, Tutup telinga dan katakan Tidak’, adalah senjata yang dipakai Demokrat untuk membuktikan betapa konsistennya partai itu memberantas korupsi. Bahkan pada penghujung iklan itu, ‘Partai Demokrat bersama SBY terus melawan korupsi tanpa pandang bulu’, menjadi kalimat penutup yang terasa indah di telinga.
Entah karena iklan itu memang sangat bermutu dan menjanjikan, Partai Demokrat dan SBY akhirnya berhasil merebut kekuasaan untuk kedua kalinya. Lebih bombastis lagi, SBY tak lagi perlu bertarung dua kali putaran pemilu, seperti Pemilu 2004. Sekali putaran saja, Yudhoyono kembali melenggang ke Istana.
Namun, semboyan “Katakan Tidak Pada Korupsi” kini menjadi bumerang bagi Partai Demokrat dan SBY sendiri. Apa lacur, sederet kader partai berlambang mercy itu justru terseret dalam derasnya pusaran korupsi. Sayangnya, meski SBY berkali-kali mengatakan tidak akan pernah pandang bulu memberantas korupsi, sepertinya pernyataan itu tidak berlaku pada kader sendiri. Tak heran, kini banyak kalangan menuding Partai Demokrat sebagai sarangnya para koruptor.
Tudingan ini bukan tanpa alasan, sebab hingga kini sejumlah nama kader Demokrat yang tersangkut masalah korupsi masih bebas berkeliaran. Kalaupun diproses, statusnya masih sebatas saksi.
Johnny Allen Marbun adalah politisi Demokrat yang hingga saat ini masih menjadi saksi dalam kasus dugaan korupsi pembangunan dermaga dan bandara di kawasan Indonesia Timur. Anggota DPR asal Sumut ini rupanya masih belum bisa dijamah oleh lembaga superbody KPK.
Berikutnya, Max Sopacua yang juga masih berstatus sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Departemen Kesehatan. Mantan penyiar televisi ini juga masih bebas melenggang sebagai anggota DPR.
Kemudian Andi Nurpati. Wanita yang sebelumnya adalah anggota KPU ini juga terseret dalam kasus pemalsuan surat MK yang kasusnya tidak lagi dilanjutkan. Bahkan, saat ini dia dipercaya sebagai salah satu Ketua DPP Partai Demokrat.
Sedangkan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamuddin juga terlilit dugaan korupsi dana bagi hasil pajak senilai Rp21,3 miliar. Namun, Agusrin yang juga menjabat Ketua DPR Bengkulu ini akhirnya divonis bebas beberapa hari lalu.
Berikutnya adalah mantan Wakil Gubernur Sumut yang kini menjadi anggota DPR Amrun Daulay juga diseret dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sapi impor dan mesin jahit Departemen Sosial. Meski status Amrun sudah tersangka, dia masih bebas tak tersentuh KPK.
Tak ketinggalan, mantan Walikota Semarang Sukawi Sutarip juga pernah ditetapkan sebagai tersangka korupsi APBD 2004 senilai Rp 3,9 miliar. Namun, lagi-lagi kasus itu mengendap entah dimana.
Sedangkan Djufri, mantan Walikota Bukittinggi, yang kini menjabat anggota DPR asal Demokrat juga dilibas dugaan korupsi pengadaan tanah kantor DPRD Bukittinggi dan pool kendaraan Sub Dinas Kebersihan dan Pertamanan Bukittinggi 2007 yang merugikan keuangan negara sekitar Rp1,2 miliar.
Kendati Djufri telah ditetapkan sebagai tersangka pada 9 Januari 2009 lalu, hingga kini ia masih bebas mondar-mandir di gedung Senayan. Sedangkan kasusnya kini ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.
Terakhir dan yang paling membuat Demokrat ketar-ketir adalah kasus yang melilit Nazaruddin. Mantan Bendahara Umum Demokrat ini diseret dalam kasus korupsi Wisma Atlet Palembang, dan percobaan memberikan gratifikasi kepada Mahkamah Konstitusi. Meski dicoret dari kepengurusan organisasi, nyatanya status Nazaruddin sebagai anggota DPR tidak dicopot.
[Sumber: Kabarnet]

Nyawa M. Nazaruddin Dihargai Puluhan Milyar

DetikNews - Muhammad Nazaruddin menghilang. Semua keluarganya ternyata juga ikut-ikutan raib. Keselamatan Nazar dan keluarganya terancam. Tersangka suap Kemenpora terkait proyek Wisma Atlet SEA Games itu akan dihabisi.

Nazar mengaku diancam akan dibunuh agar tidak lagi membongkar keterlibatan elit Partai Demokrat (PD) dalam kasus suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga dan korupsi terkait PT Anugerah Nusantara.

"Saya diancam (dibunuh) sama orangnya .... (rahasia). Supaya saya tidak bukak data tentang (korupsi) Anugrah dan Menpora," jawab Nazar saat dikonfirmasi detikcom lewat Blackberry Messenger (BBM).

Sebelum menghilang, awalnya ramai disebut-sebut Nazar berada di Singapura. Tapi ternyata Kemenlu Singapura mengatakan mantan Bendum PD itu tidak ada lagi di negaranya.

Nazar katanya sudah hengkang begitu ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kemenlu Singapura mengaku sudah memberitahu pihak berwenang Indonesia soal raibnya Nazar.

Ternyata menghilangnya Nazar juga diikuti oleh semua anggota keluarganya. Anggota Komisi III DPR M Nasir yang merupakan sepupu Nazar tidak pernah kelihatan lagi di DPR. Sepupu Nazar lainnya Rita Zahara, anggota DPRD Riau yang juga menjabat Ketua Fraksi Demokrat di DPRD Riau dan juga bendahara DPD PD Riau pun tidak lagi kelihatan batang hidungnya di kantornya.

Baik Nasir maupun Rita juga sama-sama tidak bisa lagi dihubungi nomor teleponnya. "Sudah 2 hari ini saya mencoba menghubungi Ibu Rita, tapi HP-nya tidak pernah aktif," kata anggota DPRD Riau Tengku Azwir.

Mertua Nazar juga sudah tidak ada lagi di rumahnya. Sudah satu bulan ini ibu mertua Nazar tidak ada di Pekanbaru. Ibu mertua Nazar diketahui tinggal di rumah kontrakan di Jalan Amal, Kampung Tengah, Kecamatan Sukajadi, Pekanbaru. "Sudah satu bulan Ibu Mertuanya ke Batam, ada anak di sana juga," kata seorang perempuan di rumah kontrakan itu yang lantas buru-buru masuk rumah.

Sikap Nazar dan keluarganya 'menghilang' tidak sulit untuk dipahami. Nazar yang sudah mendapat ancaman akan dibunuh tentu ketakutan ancaman itu akan benar-benar menjadi kenyataan.

Sebenarnya isu Nazar akan dibunuh sudah beredar sejak Nazar dan istrinya, Neneng Sri Wahyunu diberitakan kabur ke Singapura pada 23 Mei 2011. Kabar yang beredar, nyawa Nazar dihargai hingga puluhan miliar. "Memang ada dana untuk itu. Tapi saya tidak mau sebutkan berapa persisnya," jelas sumber detikcom di PD.

Isu ancaman pembunuhan terhadap Nazar pun makin menggelinding, dan bahkan dikait-kaitkan dengan kematian Bendahara Umum PD sebelum Nazar, Zainal Abidin, yang meninggal secara mendadak.

Zainal meninggal akibat serangan jantung pada 8 Juni 2009. Namun muncul sas sus yang meragukan Zaenal meninggal secara wajar. Pasalnya saat itu Zainal sedang dibidik Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait dana kampanye untuk PD pada Pemilu 2009. Namun belum juga dimintai klarifikasinya, Zainal meninggal dunia secara mendadak.

Zainal, selain jadi Bedum PD juga aktif sebagai Presiden Direktur PT Shohibul Barokah yang telah menyumbangkan dana untuk kampanye SBY-Boediono sebesar Rp 9,5 miliar. Perusahaan Zainal yang terdiri dari PT Shohibul Barokah menyumbang Rp 5 miliar, PT Anugerah Selat Karimun Rp 2,5 miliar. Sedangkan melalui PT Shohibul Inspeksindo Internasional (Sospek), Zainal menggelontorkan uang sebesar Rp 2 miliar.

"Saya menduga nasib Nazar nantinya tidak jauh dengan yang dialami Zainal. Soalnya Nazar tahu banyak soal aliran uang di PD, dan kini terus meniupkan terompet tentang aliran dana haram ke sejumlah elit PD. Apalagi sekarang sudah menyentuh petinggi Polri," kata Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) Mustofa Nahrawardaya.

Nasib Nazar semakin terancam sebab kini seolah menjadi musuh bersama. Beberapa orang di elit PD yang sebelumnya membelanya belakangan justru berbalik menyerangnya. Apalagi sampai sekarang belum ada jaminan dari PD atau pun pemerintah tentang keselamatan Nazar. Malah anggota Komisi III DPR dari PD, Ruhut Sitompul secara tegas mengancam Nazar bisa ditembak mati jika terus memilih menjadi buron.

"Nazaruddin kau harus pulang jangan sampai ditetapkan jadi DPO. Kalau sudah DPO bisa ditembak mati kau kalau ketemu polisi tapi tak mau pulang," ujar Ruhut yang awalnya sangat vokal membela Nazar.

Menghadapi kondisi sulit ini, hanya ada satu cara yang dipilih Nazar, yakni menghilang. Sebab kalau dia kembali nasibnya bakal terancam. "Kalau dia (Nazar) balik ke Indonesia, siapa yang menjamin kalau Nazar tidak akan dibunuh?" tanya Mustofa.

Untuk membunuh Nazar bukan sesuatu yang sulit, sekalipun sedang berada di luar negeri. Pembunuhan bisa dilakukan oleh pembunuh bayaran. "Munir aja bisa dibunuh saat berada di luar negeri. Apalagi Nazaruddin," kata Mustofa.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Hifdzil Alim juga yakin Nazar menghilang karena takut dibunuh. "Dia kan belum berani untuk menguak semuanya di sidang atau di depan penyidik, karena mungkin dia tahu kalau pulang ke sini akan di-Nasrudin-kan, dihabisi," kata Hifdzil kepada detak.

Nasrudin yang dimaksud adalah Nasrudin Zulkarnaen, Direktur Putra Rajawali Banjaran yang tewas dibunuh karena menjadi tumbal dalam pusaran kpentingan hukum dan politik negeri ini.

Hanya saja spekulasi soal rencana pembunuhan Nazar dianggap sebagai bualan oleh PD. Sumber yang dekat dengan Ketua Umum PD Anas Urbaningrum menyatakan tidak mungkin kelompok Anas ataupun PD akan membunuh Nazar karena justru akan merugikan mereka.

Ditegaskan, Anas dikenal bukan orang yang menyukai kekerasan untuk menyelesaikan persoalan. "Buat apa? Toh semua orang akhirnya akan mati. Nanti malah PD lagi yang kena," kata sumber itu menirukan pernyataan Anas. Sementara Anas yang diminta konfirmasi belum memberi tanggapan.

Sementara Ketua DPP PD Kastorius Sinaga pun membantah elit partainya ingin membunuh Nazar. Menurutnya, sangat tidak mungkin Nazar dibunuh. Kalau pun Nazar mengaku diancam akan dibunuh itu hanya bualan saja.

"Nazar itu kan sering berbohong. Saya tidak percaya kalau ada upaya itu (pembunuhan) seperti yang dia bilang," jelas Kastorius kepada detikcom. (ddg/iy)

Tidak Bisa Tidak Korupsi, Pak Presiden!

KALAU ditanya mengapa orang korupsi, jawaban jujurnya pasti tak sama. Ada yang menjawab terpaksa korupsi buat beli nasi. Yang lain bercita- cita korupsi agar hidup bisa lebih seksi punya duit berpeti- peti. Mengingat kausanya berbeda, obatnya tentu tidak boleh sama. Sama vitalnya dengan memilih obat antikorupsi, Deng Xiao Ping dulu bilang, agar korupsi tidak menjamur, perlu ada sistem. Dengan sistem, orang jahat divaksinasi agar menjadi baik, dan orang baik tetap baik.
Tanpa sistem, orang baik bisa menjadi jahat. Maka, supaya penyakit korupsi tidak kambuh, selain yang sudah sakit diobati, yang belum kena harus divaksinasi. Ihwal vaksinasi korupsi, kita masih setengah hati.
Barang tentu tak semua yang dapurnya tak selalu berasap memilih berkorupsi. Namun, dibandingkan yang korupsi buat kecentilan hidup, kelompok yang korupsi buat beli nasi pada kita masih lebih banyak. Diukur dengan apa saja, dua-duanya jelas bersalah.
Mengobati kelompok yang terpaksa korupsi, selama tidak menambah kemampuan membeli nasi, gigi hukum saja tak cukup menjadi obat. Kalau korupsi sudah jadi andalan hidup, tingkat kenekatan orang sudah naik ke otak. Wajar jika penjahat kambuhan mengaku lebih suka memilih masuk penjara karena hidup di luar semakin susah.
LEE Kuan Yew, pendiri Singapura, baru-baru ini bilang, "Jangan percaya bahwa Singapura tak menghadapi masalah korupsi." Padahal, Singapura relatif bersih dan gaji guru sekolah sudah mencapai 4.000 dollar Singapura atau hampir Rp 25 juta. Barangkali dalam kaitan kebijakan "vaksinasi korupsi", Singapura berencana menaikkan gaji menteri dan pejabat negara hingga 80 persen dari gaji eksekutif swastanya.
Pada kita, gaji pegawai negeri eselon IV (golongan ruang III) belum tentu cukup untuk makan. Kalau jujur, gaji eselon I, bahkan setingkat menteri pun, bila cuma mengandalkan gaji boro-boro bisa hidup mewah. Jadi tak perlu ditanya lagi dari mana jika tak sedikit eselon I punya rumah dan mobil mewah. Jangan pula ditanya keajaiban dari mana pula bila pegawai negeri golongan I puluhan tahun masih bertahan hidup jika bukan dari ngobyek serabutan (korupsi waktu), cari proyek, ikut panitia pengadaan barang, menguangkan kertas, tinta di kantor, atau apa saja.
Mengapa cara tak elok yang dipilih? Karena kesempatan untuk itu masih ada dan sistem kita (waskat: pengawasan melekat, salah satunya) tak punya kaki. Harus diakui, tidak semua pegawai negeri sejujur Umar Bakrie, setulus Pak guru Mamad.
GEBRAKAN "8 Langkah" Presiden beberapa waktu lalu bertekad menyapu korupsi bisa jadi membuat kempat-kempot hati koruptor kakap dan para pejabat teras yang telanjur punya hobi centil seperti itu. Namun belum tentu bakal begitu nyali mereka yang buat berobat saja tak ada uang tersisa lantaran sudah habis buat makan.
Bagi begitu banyak koruptor teri, gebrakan serbu korupsi boleh terus menggonggong, tetapi kepulan asap dapur bukankah harus terus berlalu. Selama sistem di kantor belum galak dan lubang buat serong masih menganga, korupsi rutin kecil-kecilan, berani bertaruh, seperti angin, pasti masih akan bablas terus.
Bukankah Kwik Kian Gie pernah usul, sebagai sebuah racikan puyer, obat korupsi perlu termasuk kebijakan menaikkan gaji pegawai negeri juga, sambil jangan lupa memberi catatan, bahwa hukum korupsi harus sudah bisa menggigit. Kini Presiden sudah tunggang langgang, sayang yang lain masih melenggang.
Jika ditilik dari perspektif psikopolitik korupsi gagasan Kwik laik diterima, memang harus tidak boleh ada alasan kocek pemerintah belum tebal. Mengapa? Karena pilihan itu merupakan harga obat yang harus dibayar agar wabah korupsi kelas teri bisa total sembuh dan tak kambuh lagi. Sementara niat mengencangkan ikat pinggang, usulan menyingsetkan struktur pegawai negeri pun prioritas yang perlu dipertimbangkan.
Terus terang dibandingkan dengan gaji pegawai swasta, pegawai negeri kita betul dibayar kecil. Anekdot bilang, itu sepadan dengan kinerjanya yang datang kesiangan pulang kepagian. Bukankah kinerja satu pegawai swasta setara dengan keroyokan, katakanlah melawan lima pegawai negeri.
Kalau betul begitu, bukannya efisien kita membelanjakan buat lebih banyak pegawai meski dengan struktur gaji alit, bila dengan lebih sedikit pegawai yang diberi gaji memadai tetapi menelurkan kinerja lebih besar. Filipina baru-baru ini bergegas mengetatkan ikat pinggang efisiensi jam kantor yang pada kita masih molor kedodoran.
MENJEWER koruptor teri dinilai tak tepat pakai tangan besi sebab gaji saja benar tak cukup. Tidak demikian bagi koruptor bukan kelas kambing yang kata orang bermuka badak, lantaran justru kepada mereka tangan besi yang bisa bikin mereka jera.
Melihat gelagat sudah menggebrak meja hukum pun koruptor kelas paus masih tak bergeming, tampaknya diperlukan superbody lain sebagai pendamping Komisi Pemberantasan Korupsi. Yang seperti ini beberapa negara Amerika Latin pernah lakukan.
Naga-naganya Presiden sudah "geregetan" melihat yang lain menari lemah gemulai setel kendo, alih-alih bersemangat mambo atau cha-cha-cha seperti maunya rakyat. Orang- orang berharap triliunan rupiah uang yang dikemplang para koruptor buron bisa disetor buat menolong rakyat yang lagi megap-megap. Kata orang, kondisi korupsi kita sudah terindikasi kasus gawat darurat. Tak banyak waktu untuk menyelamatkan perekonomian kita yang sudah kronis puluhan tahun dirongrong penyakit, dibobol pembalakan hutan, pengemplangan utang bank, beragam penggelapan, dan pemborosan bukan alang kepalang kocek negara.
Seperti kata Deng Xiao Ping, pemerintah bukan cuma perlu memasang sistem, tetapi juga sistemnya harus punya kaki. Untuk itu perlu diberi ruang dalam hukum ketatanegaraan kita yang memungkinkan dibentuknya superbody lain sebagai sebuah "kamar ICU".
Seperti di beberapa negara yang rajin korup, "ICU" dimanajemeni langsung oleh presiden. Melihat gejala gemuruh ombak di mulut Presiden, tetapi sayang setiba di bawah tinggal riak kalau berhadapan dengan koruptor kelas mamut dan mastodon. Kini saatnya di panggung hukum, Presiden perlu meminjam palu.
Miris kita disindir tak tuntas-tuntas memberantas korupsi. Mungkin kita perlu menukar jaring lebih kuat dari pukat harimau untuk menjerat lebih banyak koruptor bukan saja kelas teri.

Dari catatan Dr. Handrawan Nadesul (2005)

Kue Coklat Karamel


Resep Masakan - Resep Kue Coklat Karamel

Bahan A:

  • 460 gr gula pasir
  • 100 gr air
  • 6 btr telur kuning
  • 6 btr telur putih
  • buah segar
Bahan B:
  • 140 gr tepung terigu
  • 60 gr coklat bubuk
  • 100 gr mentega dilelehkan
Bahan Custard:
  • 50 gr gula pasir
  • 6 btr kuning telur
  • 500 ml susu cair
Cara memasak:
  • Panaskan 300 gr gula pasir hingga menjadi karamel, tuangi air, aduk hingga kental. Tuang ke dalam mangkuk tahan panas beroles mentega.
  • Custard: campur semua bahan dan aduk hingga gula pasir larut, tuang ke dalam caramel, tim ke dalam oven hingga matang.
  • Kue: kocok 100 gr gula pasir dan kuning telur hingga mengembang. Kocok 60 gr gula pasir dan putih telur hingga kaku, tuang ke dalam adonan kuning telur, aduk rata.
  • Tambahkan bahan B, aduk rata, tuang keatas custard.
  • Panggang dengan api atas selama 20 menit. Angkat, lalu panggang kembali dengan api bawah selama 10 menit.
  • Hias dengan potongan buah segar. Sajikan.